Past Present Love :
Antara aku, kamu, dan kenangan kita.
Chapter satu : Call me Valdo.
Kenangan itu ternyata
masih ada, masih tersimpan di tempat yang semestinya.
***
Ninotchka, Cafe
Parlour and Diner.
Jakarta, 10 Mei 2015.
Siang ini takdir
memang telah berjasa mempertemukan kedua insan yang sempat terpisah. Jarak, waktu,
dan keadaan saat itu tidak berpihak pada mereka.
Bertemu dengan tidak
sengaja dan kini dipertemukan kembali juga dengan ketidaksengajaan.
Mungkinkah ini sebuah
pertanda?
***
“Kenapa mandangin gue
terus? Terpesona sama kegantengan gue yang meningkat drastis?”
Lelaki itu masih sama.
Narsis, terlalu narsis stadium akhir. Bahkan
setelah delapan tahun tidak bertemu, caranya berbicara, caranya tersenyum
miring, dan caranya bertingkah laku masih sama seperti dulu. He act like the way he is.
Dia Nauvaldo Artedza. Rivalku,
rival kesayanganku.
“Apasih lo, pe-de
ba-nget. Please deh Valdo, udah 2013 tapi kelakuan lo masih kaya anak SD.” Sungutku
sambil memutar kedua bola mataku.
“Gila ya Van, udah
bertahun-tahun kita lost contact,
ternyata masih aja kita bisa ketemu lagi. Meskipun gue akui sih sekarang lo
lebih tinggian dikit daripada terakhir kali kita ketemu. Dikit loh, ya masih
tinggian gue lah kemana-mana.” Komentarnya sembari menertawakanku.
“Memangnya aku badut? Memangnya
aku melucu?” Pikirku sebal.
Sekali trouble maker memang tetap trouble
maker. Huh!
“Ye, baru diledekin dikit udah pundungan. Ini baru pemanasan loh Vanilla
sayang. Dulu dulu lo tahan banting banget sama gue. Masa baru gini aja udah
kepancing. Lemah ah lo.” Sekarang giliran tangannya yang mengacak rambutku
pelan.
Tuhan, terlalu banyak
perubahan yang Ia lakukan.
Sayang, mengacak rambutku perlahan? Oh
Vanilla, please stop pikiran lo yang enggak-enggak.
“Sayang, sayang pala
lo peyang?” kataku berusaha sesantai mungkin. Sedangkan ia hanya
menggerak-gerakkan alisnya ke atas ke bawah sembari menaik turunkan bahunya
acuh tak acuh.
Andaikan dia tahu yang
sebenarnya.....
***
Tanpa
permisi otakku memutar ulang reff
dari lagu lawas milik Reza Artamevia yang kurasa tidak ada matinya hingga saat
ini. Zaman memang sudah berganti, tapi lagu tersebut masih tetap mewakili
berbagai rasa yang berkecamuk di hati.
Satu yang tak bisa lepas.
Satu yang tak bisa lepas
Percayalah hanya kau
Yang mampu mencuri hatiku
Akupun tak mengerti
Percayalah hanya kau
Yang mampu mencuri hatiku
Akupun tak mengerti
Entah
sejak kapan hatiku terjangkit virus cintanya, bahkan otakku seakan lumpuh untuk
diajak berkompromi. Klise memang, benci jadi cinta. Mungkinkah karena aku
kebanyakan membaca novel dan gemar menonton drama mellow tentang cinta-cintaan sehingga kisah cintaku pun bernasib demikian?
Aku mengenalnya
sejak mengenakan seragam putih merah. Perkenalan yang tidak sengaja namun ternyata
berujung hingga sekolah dasar tamat. Tidak, kami bahkan tidak pernah satu
kelas.
Valdo
adalah temannya temanku. Emm bukan teman juga sih, kebetulan aku dan temannya
satu kelas. Halah ribet banget kayaknya untuk menjabarkan awal perkenalan kami.
Vanilla Renata dan Nauvaldo Artedza.
Tuhan
telah mengatur rencana untuk mempertemukan kami, dan tak kusangka ternyata perpisahan
kamipun telah diatur sedemikian rupa.
Ya,
manusia memang hanya bisa berencana. Tapi Tuhanlah yang menentukan. Dan apapun
hasilnya, harus dijalani dengan ikhlas dan menerima dengan sepenuh hati. As simple as that.
****
Siang
itu pelajaran olahraga. Bukan pelajaran favoritku tentunya. Sering aku
bertanya, apa enaknya sih berlari kesana kemari, saling mengejar satu sama lain
di bawah teriknya matahari hanya demi sebuah benda bulat yang disebut bola.
Uh jika
bisa memilih, lebih baik aku bersantai ria di warung Mang Udin sembari menyesap
coca-cola susu. Minuman favoritku.
Toh, payah
dalam pelajaran olahraga bukan berarti dunia kita runtuh bukan?
Namun
sayang beribu sayang, impianku bersantai ria harus pupus dengan datangnya
sebuah bola yang tanpa izin sukses mencium kening mulusku. Damn, I hate it!
Tapi tunggu
dulu, jangan bayangkan aku akan pingsan lalu dibawa lari ke UKS oleh si
tersangka. Saling berkenalan, pendekatan, lalu jadian.
Oh tidak,
tidak seperti itu. Umur kami masih terlalu muda untuk memerankan adegan seperti
yang terdapat pada novel-novel teenlit
yang beredar luas di pasaran. Mungkin jika saat itu aku sudah mengenakan
seragam putih biru adegan itu bisa saja terjadi. Bisa jadi lho.
“Sori,
lo gapapa kan Van? Vanilla kan nama lo?”
Saat itu
aku mengamati tersangka yang seenaknya membuat bekas di kening mulusku. Ya,
gara-gara bola yang dimainkannya, kening putih mulusku berubah warna menjadi
kemerahan. Sial.
“Iya
gue Vanilla. Lain kali kalo main tuh yang bener biar gak makan korban lagi. Udah
ah gue mau ke kelas.”
Malas
menjadi tontonan akupun segera beranjak menuju kelasku. Haus, itu yang aku
rasakan. Kayaknya sih aku dehidrasi.
Lorong
yang aku lewati begitu sepi. Wajar sih, kelas lain kecuali kelasku dan kelas 4
lainnya memang sedang mengadakan kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Berhubung
sekolah berakhir pukul 3 siang, berarti masih sisa dua jam lagi sebelum semua
murid berhamburan keluar.
“Van,
Vani tungguin gue.”'
Suara
khas anak lelaki dengan nafas yang terengah-engah terdengar dibelakangku diringi
bunyi sepatunya yang beradu dengan keramik merah marun yang menghiasi lantai
semen sekolahku,
“Apalagi
sih maunya? Kenal enggak tapi ngikutin” batinku kesal.
“Kita
kan belum kenalan Van. Gue udah tau elo, masa lo gak tau gue. Kan gak fair.” Katanya sambil menyelaraskan
langkah kakiku. Tadi ia cukup tertinggal jauh, sehingga butuh sedikit tenaga
ekstra untuk bisa menyusulku. Dasar aneh.
“Penting
ya? Gue rasa tadi ketidaksengajaan. Jadi yaudah, gausah diambil pusing lagi. Let it flow. Kataku sambil menambah
kecepatan langkahku. Yayaya, tentu saja aku malas meladeninya. Bukankah kita
harus waspada terhadap orang yang tidak kita kenal?
“Call me Valdo. Gue harap ini bukan
pertemuan terakhir kita.” Katanya sambil menyunggingkan senyumnya yang kurasa
aneh. Ya, senyum miring yang memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya.
Aneh bukan?
Seharusnya saat berkenalan dengan orang yang baru kau kenal kau akan memberikan
senyum terbaikmu. Tapi dia? Oh, sudahlah
lebih baik kau pikirkan hal-hal yang lebih baik Vani.
“See you Vani. We’ll meet
soon.”
***
Tak pernah
ku kira jika awal pertemuan kami akan menyeretku ke berbagai kisah tak terduga.
Penuh kejutan, persaingan, canda tawa, kesal, sedih, kecewa, gelisah, bahkan pengorbanan
dalam persahabatan.
Ternyata
memang tidak ada yang sia-sia. Jika ada awal pasti ada akhir. Setiap pertemuan
memang sudah digariskan untuk menjalin sebuah kisah yang diisi oleh berbagai
pengalaman yang secara perlahan menggumpal menjadi sebuah kenangan.
Inilah
awal kisahku, kisah yang bermula di masa putih merah yang tak pernah ku kira
akan berlanjut ke masa perkuliahan walaupun sempat hilang ditelan waktu.
Walaupun begitu banyak tokoh
yang datang dan pergi pergi silih berganti. Ternyata memang engkaulah yang
paling berkesan di hati. –Vanilla R.
****
To be
continued...
****
Halooo setelah sekian lama hiatus dan rehat sejenak dari dunia penuh kata-kata, rasanya saya sudah menemukan kembali rasanya gatal jika tidak menyentuh tuts-tuts yang ada pada keyboard.
oke, kali ini saya kembali dengan karya terbaru saya.
yap sejujurnya ini dadakan dan entah kenapa malam ini rasanya ingin memanjakan diri bersama laptop tercinta. well, semoga kalian suka :)
PS : nantikan chapter-chapter berikutnya guysieee:D
-@ifaaahsm-
ditunggu kelanjutannya ya kak :) semoga lanjut terus! (y)
ReplyDelete