Past Present Love :
Antara aku, kamu, dan kenangan kita.
Chapter dua :
APA KATA DUNIA???
Bertemu denganmu lagi
adalah sebuah keajaiban, dan berbincang-bincang denganmu merupakan kebahagiaan.
–Nauvaldo A.
Ninotchka
:
12:44.
“Jadi, kapan lo balik lagi ke Jakarta? Bukannya kata
anak-anak lo stay di Palembang ya?” kataku sambil mengaduk-aduk choco lava cake milikku.
Entah sejak
kapan memandang wajah rupawan milik Valdo terasa lebih menarik dibanding
menghabiskan makanan favoritku. Salah satu dessert
terbaik yang dimiliki Ninotchka.
Berbicara tentang kepindahannya yang tiba-tiba, membuat
dadaku nyeri. Yap, he leave me without
permission. Rasanya saat itu aku merasa jadi orang satu-satunya yang tidak
tahu apa-apa. So hurt.
Beberapa hari sebelum kepindahannya memang Valdo sempat
meminta maaf padaku atas semua kesalahannya yang lantas membuatku
terheran-heran bahkan menertawakannya.
Kalo
aja waktu itu gue sedikit peka, mungkin cerita kita bakalan berbeda.
Sekali lagi waktu telah membuktikan bahwa hari esok
adalah misteri.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
“Yaampun, gila-gila lo care banget sama gue Van!” Ia terkekeh pelan sambil melirik dengan
genit ke arahku. Demi Tuhan, sepertinya aku salah bertanya.
Tapi aku memang butuh alasan dan penjelasannya. Jika
tidak, maka seumur hidup aku akan terus-terusan dihantui rasa penasaran.
“Hahaha selow men. Gak usah pasang muka antagonis kaya
gitu deh Van. Gue seneng kok kalo lo selalu update
tentang gue.” Ia tersenyum, senyum manis kedua yang ia berikan padaku. FYI, hanya sekali ia pernah
tersenyum manis padaku, yaitu saat permintaan maafnya yang tdak pernah kuduga
menjadi hari terakhir kami bertemu kala itu.
Can
I fly to the sky?
“Itu sih mau lo! Apaansih Val, gausah kegeeran
deh.” Ya, sejujurnya aku malu jika
ketahuan olehnya.
Cinta...cinta. Apa-apa serba gengsi.
“Iya, gue sempet di Palembang sampai SMA, bahkan gue
udah rencana lho mau masuk kedokteran Unsri. Tapi ya balik lagi ke Takdir.
Takdir gue ternyata bukan disana.” Valdo menceritakan panjang lebar kalau pada
akhirnya ternyata ia berkuliah di Fakultas Komunikasi Unpad.
Bandung-Jakarta nggak terlalu jauh kan ya? Jika dan hanya
jika aku yang menjadi takdirnya.
Stop
dreamin’ Vanilla! Entah kenapa berhadapan dengannya membuatku
lemah dan pikiranku melayang kemana-mana.
Love
is crazy, and love is you.
***
I remember…
The way you glanced at me, yes I remember
The way you glanced at me, yes I remember
-Mocca
“Inget nggak sih waktu lo ulang tahun dan muka lo
belepotan gara-gara dikerjain temen lo?“
Senyumku mengembang mengingat aksi heroiknya yang
menyelamatkanku dari ‘kejutan’ ulang tahun yang dipersiapkan teman-temanku.
“Inget banget lah Val. Dan herannya gue, meskipun kita
rival, tapi lo sekonyong-konyong jadi pahlawan kesiangan buat gue. Thanks ya! Kalo
nggak ada lo mungkin saat itu muka gue tambah ancur nggak karuan” kataku sambil
senyum-senyum membayangkan kejadian itu, kejadian saat ulang tahunku yang ke
10.
“Honestly gue
waktu itu kasian sama elo Van. Soalnya kan abis itu kita harus belajar bareng
buat persiapan olimpiade se-DKI Jakarta. Karena itu gue nolongin elo. Mana rela
gue belajar bareng orang yang bau amis nggak keruan kaya gitu. Jijay layaw”
Persetan dengan alasan yang diungkapkannya. Yang ku
tahu saat itu ia menyelamatkanku dari kejaran teman-temanku. Untungnya baru
dilempar terigu, bukan telur maupun campuran berbagai macam air, saos, kecap,
dan pasir yang sebelumnya telah dipersiapkan teman-temanku. Alhasil kami malah
menikmati sore itu di warung baso Pak Karmin, berhaha-hihi ria sementara teman-temanku
kelimpungan mencari tempat persembunyianku.
“Sialan lo. Jadi lo nolongin gue buat kepentingan lo
doang bukan gue. Hah, gue tarik lagi deh pujian gue ke elo! “ akupun mencubit
pelan tangannya yang kebetulan ia sandarkan di meja makan. Ah gemas rasanya.
Padahal aku sudah kegeeran setengah mati saat
itu.
Sementara itu ia hanya tertawa-tawa melihat tingkah
lakuku yang seperti anak kecil yang sedang merajuk kepada mamanya.
Lain di mulut lain di hati. Saat itu, setiap ada yang menjodoh-jodohkan
kami selalu saja aku menolaknya dengan terang-terangan dengan memberikan
berbagai macam alasan yang masuk akal untuk membantah adanya benih-benih virus merah jambu di antara
kami.
Namanya juga cewek. Mana mungkin blak-blakkan mengaku
suka. Geng to the si, Gengsi!
Dan selanjutnya kamipun asyik bertukar cerita hingga
tak terasa sang mentaripun sudah selesai menjalankan tugasnya. Nostalgia,
mengenang masa lalu, dan mengingat kembali tingkah konyol saat masih duduk di
Sekolah Dasar memang tidak ada habisnya. Sesekali tertawa, dan sesekali
menyesali mengapa kami dulu bisa melakukan hal-hal tak masuk akal seperti itu.
Damn, I miss everysingle crazy moment on
elementary school.
***
The
story of us. Mengingat masa-masa putih merah secara tidak langsung
mengingat kembali kisah permusuhan kami yang tidak jelas mana awal dan mana
akhirnya. Berbagai perseteruan, persaingan, bahkan saling meledek menjadi
kegiatan rutin yang kami lakukan. Bahkan pintu kelas kami yang saling
berhadapan menjadi our favorite corner.
Aku memang membencinya setengah mati pada saat itu.
Walau tanpa kusadari seakan ada yang hampa saat sehari tidak bertengkar
dengannya.
We
act like Tom and jerry, but the differences is sometimes we care each other. How sweet we are.
***
-flashback-
“Vanilla, gue mau ngomong!” aku berjalan dengan sedikit tergesa-gesa menuju
kantin sekolah. Kebetulan saat itu koridor sedang sepi dan hanya menyisakan
beberapa orangtua yang menunggu anaknya pulang sekolah.
Tanpa diduga seseorang menghambat perjalananku. Siapa
lagi kalau bukan Nauvaldo Artedza, musuh bebuyutan sepanjang masa.
“Apa sih lo, minggir deh. Gue lagi males ngeladenin elo
dan gue buru-buru.” Bukannya berpindah dari tempatnya, Valdo malah sengaja
menutupi jalanku dengan berdiri dihadapanku.
Oh Tuhan, mau apa lagi sih manusia satu itu?
“Gue nggak bakalan minggir sebelum lo dengerin gue.
Oke?’ kali ini dia tidak hanya menggunakan mulutnya, namun juga tangannya yang
tiba-tiba mencengkram pergelangan tanganku.
“Reno suka sama lo.” katanya singkat sambil menatap
lurus ke arahku.
“Lo tahu kan dia sahabat gue? Pokoknya lo harus bantuin
gue buat bikin dia bahagia gimanapun caranya, gue nggak mau tau!”
What?
Are you kidding me Valdo.
Reno Wijaya. Teman sekelasku sekaligus sahabat karib
Nauvaldo Artedza. Seorang lelaki cerdas namun pemalu setengah mati. Kulitnya
yang putih seputih porselen membuatnya memerah seketika ketika terkena panas
maupun berhadapan dengan cewek yang ia sukai.
“So What? Lepasin tangan gue!” akupun memberontak. Enak
aja, dia main perintah seenaknya. Dipikir aku ini apa. Toh aku tidak perduli
dan tidak tertarik sedikitpun dengan kata-kata yang barusan ia ucapkan. I. Don’t. Care.
Bukannya melepas, Valdo justru mencengkram lebih erat
pergelangan tanganku, matanya tidak tinggal diam, kini tatapannya terfokus
tepat pada manik mataku.
Demi Tuhan rasanya aku ingin pindah ke Mars saja.
Bayangkan, dihadapan kami ada beberapa ibu-ibu dan kami bertingkah laku
layaknya sepasang kekasih yang sedang mengalami masalah.
Dia lelaki pertama yang menggenggam tanganku, ya
meskipun di pergelangan tangan sih, tapi tetap saja menurutku tidak seharusnya
ia melakukan itu. Teman bukan, pacar apalagi.
Tatapan matanya dan genggaman tangannya yang hangat sesaat
menghanyutkanku. Ibarat di film-film remaja yang sering ku tonton, rasanya saat
itu dunia serasa milik berdua dan yang lain hanya numpang lewat.
Masa musuh mesra-mesraan?
APA KATA DUNIA????
***
To be continued.
Thankyou for visiting my blog. Let's connect & be a friend:D
Cheers,
Ifa