Past Present Love : Antara aku, kamu, dan kenangan
kita.
Chapter empat : I Love You, Valdo! (Ending)
I know you’ve been hurt and it caused by me. Can
you give me one more chance? I Love you, no doubt. – Valdo.
***
Vanlla’s POV
Sudah dua bulan pasca pertemuanku dengan Valdo. Selama
itu kami layaknya sepasang sahabat lama yang dipertemukan kembali setelah
dipisahkan bertahun-tahun lamanya oleh sang waktu. Hangout, sekedar makan siang
bareng, nonton, dateng ke festival, bahkan pergi ke pagelaran musik bersama. Can I call it a date?
Waktu senggang bagiku saat ini merupakan anugerah
Tuhan yang terindah di kala deadline yang terus menerus memberondongku saat
ini. Tugas kuliah, kepanitiaan, sampai organisasi. Makanya pas ada rehat gini
tuh senengnya bukan main. Kalo boleh lebay sih aku menyebutnya surga
dunia. Lebay banget nggak sih?
Berselancar di dunia maya sambil menikmati teh tarik
dingin plus vanilla ice ceam menambah tingkat kemageranku
menjadi 1024x lipat dari sebelumnya. Aku mengscroll timeline dan sengaja membaca tweet-tweet yang berserakan di homeku dan berhenti pada sebuah tweet milik @TheFactsBook yang berhasil mengunci pandanganku.
@TheFactsBook : “If you’re afraid of being happy
because you think something bad is going to happen soon, you suffer from
‘Cherophobia’.
Cerophobia. Am I?
Ya aku terlalu takut dengan apa yang akan terjadi
kedepannya.
Sesungguhnya akhir-akhir ini memang ada yang
mengganggu pikiranku berkaitan dengan kelanjutan hubunganku dengan Valdo. Di
satu sisi aku bahagia tak terkira karena pertemuan kami (kembali) yang sangat
tak disangka-sangka. Namun di sisi lain aku sedih. Dia memang pernah dan
sekarangpun menjadi sumber kebahagiaanku, tapi di sisi lain ia pula yang
menjadi sumber dari kesedihanku.
Di-le-ma.
Aku menyebutnya First
Love dilema. Ketika cinta pertamamu datang dan harapan semakin dekat untuk
menjadi kenyataan, tapi bayangan masa lalu yang memilukan pelan-pelan menjadi
halangan.
Ya mungkin terkesan berlebihan, tapi ya memang itulah
yang terjadi. Complicated.
Dengan seenaknya ia pergi tanpa pamit dan kini ia
kembali tanpa penjelasan yang setimpal. Hate
but love, love but hate. ARRRRRRGGGHHHH!!!
***
Valdo’s POV
Udah berulang kali gue coba menghubungi ponselnya Vani
tapi selalu aja yang nanggepin adalah mbak-mbak operator.
Nomer yang anda tuju sedang di luar jangkauan.
Silahkan hubungi beberapa saat lagi. Terima kasih.
Kenapa sih Van????
Gue tau gue salah, dari FTV yang gue tonton dan
novel-novel roman picisan yang sering dibaca Sisi, adek gue, cewek itu nggak
suka yang namanya digantungin tanpa kejelasan. Tapi suer deh, emang timingnya belum pas kalau gue
mengungkapkan semuanya sejujur-jujurnya ke Vanilla.
I mean isi hati gue.
Gue ngerti dan sangat paham kalo Vanilla masih kecewa
sama sikap gue waktu dulu. Tapi hey, waktu itu gue masih SD men. Yang gue tahu
gue harus ikut kemana ortu gue pergi karena itulah cap anak baik yang ada di
pikiran gue.
Polos, lugu, dan sekarang menjadi sebuah belenggu.
Sempet kepikiran buat nulis surat perpisahan ala Rangga
AADC yang waktu itu lagi booming banget. Tapi gue pikir gue udah
ngelakuin yang lebih dari itu loh, dengan secara gentle gue minta maaf langsung sama Vanilla
di depan anak-anak kelas gue maupun kelas dia.
Yes I’m the man. Not a boy.
Salah gue sih karena nggak ngomong yang sejujurnya
tentang kepindahan gue. Tapi gue bisa apa? Gue nggak tega buat merusak hari
bahagianya dan senyum manis yang pertama kalinya dia kasih buat gue. Lesung pipitnya man, ga kuat!
Time flies, people changes, memories stay.
Gue amat sangat paham kalo gue dulu udah melakukan hal
yang sangat bodoh dengan meninggalkan Vani tanpa kejelasan. Ya meskipun
jelas-jelas saat itu status kami sudah naik satu tingkat dari yang tadinya
musuh bebuyutan menjadi sahabatan.
Now I’m back. I’m back for you, for us. To continue
story of us.
Bukan Valdo namanya kalo bakalan nyerah begitu aja.
Tunggu gue Vani!
***
Normal POV.
Jalan kemanggisan Raya No. 23, Kediaman Bapak
Ardiwijaya.
“Sore tante, Vaninya ada.” Sesosok wanita cantik yang
baru pulang kerja dan sepertinya hanya berselisih beberapa menit dari Valdo
tampak meneliti dengan seksama tamu asing yang datang ke rumahnya.
Masih muda, tampan dan tampaknya supel dan
berpendidikan. Kira-kira sepintas itulah penilaian dari Tara Amelia, Ibunda
Vani.
“Kenalkan saya Valdo tante, temannya Vani waktu SD.”
Valdo mencium tangan dengan sopan wanita yang sebentar lagi, jika Tuhan dan
semesta mengizinkan, akan menjadi calon mertuanya.
Pede dikit boleh lah ya.
“Sebentar ya Tante panggil Vaninya dulu, biasanya jam
segini sih Vani lagi bersantai di Gazebo sambil membaca majalah kesayangannya.
Masuk dulu yuk Nak Valdo.” Sudah jelas bagi Tara, nampaknya pemuda inilah yang
membuat anak gadisnya uring-uringan belakangan ini.
Berani jatuh cinta berarti berani juga untuk patah
hati.
Awalnya Vani ogah-ogahan untuk menemui Valdo. Pasalnya
ia sendiri masih bingung akan perasaannya. Bukan bermaksud geer atau bagaimana
karena sampai detik inipun Valdo memang belum mengatakan isi hatinya. Tapi yang
namanya wanita pasti sudah merasanyakan sinyal-sinyal tak kasat mata yang
menuju ke sebuah organ bernama hati bukan?
”Mau apa lo kesini?” Vanilla masih memasang tampang
juteknya. Bukannya mau judes atau semacamnya, tapi ia sendiri bingung harus bagaimana.
Terlalu baik nanti disangka kegenitan. Diam saja bakalan disangka lagi sakit
gigi. Ah, serba salah!
“Kalem non, biasa aja tuh bibir nggak usah pake
dimonyong-monyongin segala.” Valdo hanya bisa mengulum senyum melihat kelakuan
sang pujaan hati yang disaat-saat tertentu memang childishnya ampun-ampunan.
“Gausah banyak gaya deh pake senyam-senyum nggak jelas.
To the point aja deh ada maksud apa lo dateng kesini?”
“Menyambung tali silaturahmi yang sempat terputus.”
Singkat, padat, dan jelas. Tentunya jawaban Valdo semakin membuat Vanilla keki.
Di saat-saat genting seperti ini masih saja sempat-sempatnya bercanda.
“Kangen nggak sih Van sama gue? Kok gue kangen ya udah
semingguan nggak ketemu sama elo.” Valdo menatap tepat pada manik mata Vanilla.
Mencoba menyelami dan membagi semua jawaban dari segala pertanyaan yang ada.
“I love you, Van.” Simple
things that make you happy. Yes, the expression of love from the one who you
loved.
“Valdoooooo gue kesel sama elo!!!!!”
Akhirnya Vanilla membuka suaranya dan memukul-mukul
lengan Valdo tanpa ampun. Bagaimana bisa menyatakan cinta disaat seperti ini.
Bahkan gencatan senjata pun belum dilakukan.
***
Vanilla’s POV.
“Yes I know you hate me, but you love me too. Right?”
Sialan sialan kenapa kegeeran banget sih tuh orang.
WTF!!!! Kalo ngebunuh orang nggak diharamkan udah gue lakuin juga sekarang ini.
Nauvaldo Artedza, kenapa ada spesies nyebelin macem
elo gini sih?!?!?!!!
“Gue serius Vanilla. Sekarang, dulu, dan nanti cuma
elo yang ada di hati gue. The
one and the only one.” Masih dengan tatapan mautnya dan senyum
mematikannya.
Ini kan Van yang selama ini elo harapin?
Rasanya angel dan devil di hati gue lagi berperang. Antara
luluh atau terus mempertahankan kegengsian ini. Yayayaya!
Skak mat! Mati aja lo Van mati aja.
“I love you, all my blood cell love you. All I
need, all I want is you, Vanilla.”
Kalo ada yang pernah ngalamin saat-saat dimana batin
lo memberontak untuk merengkuh orang yang ada di depan lo dengan segenap
kerinduan, tapi di satu sisi rasa kesel lo udah nggak tertahankan. Ya, gue
ngerasain itu saat ini.
VALDOOOOO!!!!! Gue bisa gila lama-lama.
Mana ada sih cewek yang nggak melting dikasih perlakuan semanis ini?
Pelan-pelan tangan gue digenggam dengan perlahan. FYI,
saat ini kita udah berpindah tempat. Bukan di rumah gue lagi, tapi taman deket
rumah gue.
“Gue tahu, gue pernah bikin lo terluka. Gue nggak
bakalan janji apapun dan mengumbar sesuatu yang nggak pasti. Tapi yang perlu lo
tahu, gue bakalan berusaha dan jadi yang terbaik buat lo, buat kita ke
depannya.”
“Gue pernah salah dan nggak mungkin dengan bodohnya
gue bakalan mengulangi kesalahan itu. “
Manis, hangat, dan sarat akan getar-getar cinta. Sinar
matanya mencoba meyakinkanku, mengalirkan sinyal-sinyal untuk percaya, percaya
lagi dan siap untuk memulai kembali sesuatu yang pernah tertunda.
Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Entah sejak kapan Valdo jadi alay gini. Nggak mungkin
kan seorang Valdo jadi bermellow ria menyanyikan lagunya Mbak Dewi Lestari?
Tapi ya namanya juga manusia. Kalo ada kemauan pasti ada jalan. Kalau udah niat
pasti bakalan terus berusaha. Yes,
He did it!
17:59, 22 Mei 2013. Di bawah lembayung senja, di sudut
taman kompleks yang mulai sepi karena maghrib pun mulai menjemput. Senja memang
mengantarkan mentari kembali ke peraduannya. Namun juga menjemput bulan dan
bintang yang muncul dengan malu-malu menghiasi sang malam.
Bagaikan bulan dan bintang yang menerangi gelapnya
malam, seperti itulah cintamu kepadaku. Jatuh cinta memang pernah membuatku
merasa kehilangan, namun di waktu yang tepat dan bersama orang yang tepat
semuanya terasa utuh.
“Jadi kita resmi jadian kan Van?” sambil berjalan kaki
untuk balik ke rumahku Valdo tak henti-hentinya menanyakan pertanyaan yang
sama. Itu lagi, itu lagi.
Setelah perdebatan yang cukup panjang, setelah
kesedihan, unek-unek, perasaan, dan semua jawaban dari
pertanyaan tersampaikan, akhirnya terciptalah sebuah
keputusan.
He love me just the way I am, and I love him since at
elementary school.
“Bawel lo! Sekali lagi nanya pokonya kita putus.” Haha rasain, pikirku jahil.
“Vanillaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!” dan malam inipun ditutup
dengan kami yang saling berkejaran layaknya dulu saat di sekolah dasar. De javu!
“Tangkap gue kalo bisa Val. Lo masih jago lari kan kayak
dulu?”
Past present love. Antara aku, kamu,
dan kenangan kita. Karena kenanganlah yang masih menghubungkan kita dan pada
akhirnya menyatukan kita.
Kisah hidup manusia memang sudah diatur
sebaik-baiknya. Past present
love. Antara aku, kamu, dan
kenangan kita. Memang sudah takdirnya mungkin bagiku untuk susah move on dan tetap bertahan pada
kekuatan cinta pertama. Ya meski sempat mengalami first love dilema sih. Bimbang sebimbang-bimbangnya.
Aku dan kamu memang saling mencintai, meskipun
terpisah jarak, meskipun sempat diuji oleh sang watu. Dulu, sekarang, dan
semoga untuk selamanya. Past
Present Love. Cinta memang berjuta rasanya, kadang butuh merasakan
kepedihan dulu, baru merasakan kebahagiaan. Seperti coklat, awalnya terasa
pahit namun lama kelamaan terasa manis.
“Valdo, I love you!”
***
I love this part kak! Can't stop smiling while reading it. Aaaaaaakkkkk i just love the way you write this. Ceria as always. Ditunggu cerita2 lainnya. Luvluv <3<3
ReplyDeleteQisti